Sabtu, 03 Desember 2011

Artikel Kebudayaan Aceh


Budaya Aceh - Seni Kebudayaan Tradisioanl Propinsi Daerah Aceh


Budaya Aceh - Seni Kebudayaan Tradisioanl Propinsi Daerah Aceh

Budaya Aceh Seni Kebudayaan Tradisioanl Propinsi Daerah Aceh - Budaya Aceh Indonesia yang menjadi salah satu wilayah propinsi di Indonesia ini memiliki aneka ragam seni budaya yang menarik seperti tarian, kerajinan serta perayaan.

Kebudayaan Aceh tersebut banyak dipengaruhi dari kebudayaan Islam. Terdapat banyak jenis seni dan budaya Aceh yang bercirikan islami seperti misalnya Tarian, adat istiadat, produk kerajinan serta angeka ragam hiasan. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh sangat religius. Aturan Syariah Islam mewarnai banyak kehidupan di masyarakat Aceh sehingga propinsi Aceh terkenal dengan sebutan Serambi Mekkah.

Propinsi daerah Aceh memiliki beberapa kebudayaan daerah yang sudah terkenal di indonesia dan sudah menjadi ciri khas dari kebudayaan daerah Aceh. Seni tarian saman dan rapai geleng adalah contohnya. Seni tarian saman dan rapai geleng tersebut sangat terkenal dan jadi kekayaan kebudayaan indonesia yang patut di lestarikan sehingga tidak di lupakan oleh generasi muda mendatang.

Yang sangat unik adalah karena ada gerakan yang sangat unik dan sudah menjadi ciri khas dari tarian saman dan rapai geleng. Beberapa tari tradisional Aceh lainnya yang berasal dari propinsi Adaerah Istimewa Aceh adalah tari Seudati dan tari Tambo. Ada salah satu yang menjadi ciri yang sangat menarik dari tarian tradisional yang berasal dari Aceh yaitu dilakukan secara berkelompok.

Dalam hal makanan khas Aceh mempunyai aneka jenis makanan antara lain gulai itik, kari kambing yang lezat, meuseukat yang langka. Emping melinjo yang berasal dari kabupaten Pidie juga terkenal gurih, lalu ada dodol Sabang yang dibuat dengan aneka rasa, ketan durian (boh drien ngon bu leukat), serta bolu manis asal Peukan Bada, Aceh Besar juga bisa jadi andalan bagi Aceh.
adat aceh:
Adat Aceh sebagai aspek budaya, tidak identik dalam pemahaman “ budaya “ pada umumnya, karena segmen-segmen integritas bangunan adat juga bersumber dari nilai-nilai agama (syariat) yang menjiwai kreasi budayanya. “ Adat ngon agama lagei zat ngon sifeut “. Roh Islami ini telah menjiwai dan menghidupkan budaya Aceh, sehingga melahirkan nilai-nilai filosofis, yang akhirnya menjadi patron landasan Budaya Ideal, dalam bentuk Narit Maja :


“Adat Bak Poe Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala,

Qanun Bak Putroe Phang, Reusan Bak Lakseumana“.


Pou Teumeureuhom; Simbol pemegang kekuasaan. Syiah Kuala; Simbol hukum syari’at/agama dari ulama. Qanun; Perundang-undangan yang benilai agama dan adat dari badan legeslasi yang terus berkembang. Reusam; Tatanan protokuler/seremonial adat istiadat dari ahli-ahli adat yang terus berjalan. Pengembangan nilai-nilai tatanan ini, mengacu kepada sumber asas, yaitu ” Agama (hukum) ngon Adat, lagei zat ngon Sifeut ”

Mengacu kepada asas narit maja ini maka budaya adat mengandung dua sumber nilai, yaitu :

Pertama: nilai adat istiadat, yaitu format seremonial, prilaku ritualitasi, keindahan, seni apresiasi dalam berbagai format upacara dan kreasi

Kedua: nilai normatif/ prilaku tatanan ( hukum adat ), yaitu format materi aturan dan bentuk sanksi-sanksi terhadap pelanggar-pelanggaran



Analisis membuktikan, karena istiqamah dan komit dengan nilai-nilai filosofis narit maja ini, maka implimentasi budaya Aceh, telah melambungkan harkat dan martabat Aceh, diperhitungkan oleh dunia internasional (fakta sejarah), dimana titik sentral pengembangannya adalah Meunasah dan Mesjid (simbol sumber nilai). Sebaliknya marjinalisasi acuan filosofi ini, sejarah telah mengantar Aceh dalam era kekinian.

Mengacu kepada budaya adat Aceh yang sarat dengan nilai-nilai Islami, maka pada dasarnya, dalam pengembangan budaya adat berpegang kepada beberapa asas, antara lain:

a. Setia kepada aqidah Islami (hablum minallah)

b. Bersifat universal (tidak ada gap antar agama, antar bangsa dan antar suku)

c. Persatuan dan kesatuan (hablum minan nas)

d. Rambateirata (kegotong royongan, tolong menolong)

e. Panut kepada imam (pemimpin)

f. Cerdas dengan ilmu membaca dan menulis (iqra’ dan kalam/menulis )

Pertumbuhan budaya adat Aceh, andainya menjadi bagian kesetiaan dalam konteks harkat dan martabat identitas keacehan, menghadapi tantangan sebaran budaya global, maka wujud budaya idealis, akan mudah adaptatis, akselirasasi dan berakumulasi secara kompetitif dan terprogram.

Muatan budaya adat Aceh sebagaimana tersebut diatas, secara teori memenuhi pandangan-pandangan yang dikemukakan antara lain oleh :

a. E.B.Taylor dalam bukunya : Primitive Culture, Boston, 1871, dengan rumusan : Culture or Civilization is that complex whole whitch includes knowledge, belief, art, morals, law, customs and any other capabilities, acquired by man as a member of society. (E.M.K.Masinambau, Hukum dan Kemajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2000, hal.1)

Maksudnya; Budaya adalah suatu peradaban yang mengandung berbagai nilai ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasan dan berbagai kemampuan rekayasa (keterampilan) seseorang sebagai anggota masyarakat3

b. Abidin Hasyim, formula dasar kebudayaan Aceh, dengan mengemukakan, bahwa: Kebudayaan Aceh telah menemukan identitasnya yang bernafas keislaman. Sistem tata nilailah yang menjadi tolak ukur untuk menyaring pengaruh baru dari luar, mana yang bisa diterima dan mana yang harus ditolak. Sistem tata nilai Islam yang dianut masyarakat Aceh, dalam menghadapi pengaruh modern, bukanlah pertentangan antara keislaman tradisional dengan modern, sebab Islam tidak berwatak tradisional, karena padanya terkandung pula unsur-unsur modern (Seksi Seminar PKA-3, Bunga Rampai Temu Budaya Nasional, tulisan Abidin Hasyim, bertajuk: Kebudayaan Aceh Dalam Dilema Konflik dan Konsensus, hal.195)

c. Soejito Sastrodiharjo, dalam topik tulisannya, Hukum Adat dan Realitas Penghidupan, dengan mengangkat dan setuju dengan pandangan Kluckhohn, yang mengatakan :.

Nilai itu merupakan ”a conception of desirable”. Pada nilai ada beberapa tingkatan, yaitu nilai primer dan nilai sekunder. Nilai primer merupakan pegangan hidup bagi suatu masyarakat (abstrak), misalnya: kejujuran, keadilan, keluhuran budi dan lain-lain, sedangkan nilai skunder adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan kegunaan, misalnya dasar-dasar menerima keluarga berencana atau untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi. Nilai skunder muncul sesudah penyaringan nilai primer. Kemajuan yang dicapai oleh Jepang, disebabkan karena orang Jepang mempertahankan nilai-nilai primernya, tetapi mengubah nilai-nilai skundernya (M.Syamsuddin, dkk, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, Fak.Hukum UII, Yogyakarta, 1998, hal 113 )

Mengaktualkan Adat dan Budaya Aceh

Untuk memelihara tumbuhnya adat istiadat Aceh, ada dua kawasan yang perlu diprogramkan pengembangan apresiasi adat, dimana para tokoh adat (leading) sektor dengan perangkatnya amat berperan di dalamnya, yaitu kawasan Gampong dan kawasan Mukim:

a. Gampong: Kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah mukim yang menempati wilayah tertentu, dipimpin oleh Keuchik dan yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Keuchik adalah Kepala Badan Eksekutif Gampong dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong (Qanun, No.5 Tahun 2003)

b. Mukim: kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Camat yang dipimpin oleh Imeum Mukim. Imeum Mukim adalah Kepala Pemerintahan Mukim (Qanun No.4 Tahun 2003)

Dalam konteks budaya ideal, aktualisasi produk paket-paket budaya adat, dapat memasuki pasar global, dengan memperhatikan beberapa unsur, sebagai berikut:

1. Berakhlak agamis: kuat aqidah dalam penegakan syiar dan syariat Islam. Han lon matei di luwa Islam, ka meunan peusan bak indatu. Ni bak matei kafee, leubeih geit kanjai. Nyang beik sagai cit tuka agama. Iman ta bina bak khusyu’ di hatei

2. Berjiwa adatis: Penampilan prilaku yang adatis, dengan forma-forma adat dalam upacara-upacara kekhidmatan, bernilai ekonomi, harkat dan martabat. Tasouk bajee bek lee ilat, leumah prut pusat leupah gura. Ureung inong misee boh mamplam, lam on ta pandang mata meucaca

3. Bertata Etika: budaya adat yang transparan (bermasyarakat, beraturan, berencana, berorganisasi, bergerak dan rensponsif), dibawah manajemen Keuchik dan perangkatnya. Phon-phon adat cit jeut keudroe, watee meusahoe sinan meu tata. Maseing-maseing nanggroe na adat droe, ureung meubudoe (bakoe) nyang atoe cara. Beik keureuleing ngon kheim irot, beik meureubot peupap haba. Beik meututoe jampu carot, beik ngon meudhot sue meutaga

4. Bertata Estetika. implimentas kreasi, apersiasi dalam format dengan nilai-nilai seni keindahan, bersih anggun, menarik (cantik), penuh nilai-nilai martabat yang santun, kebanggaan dan berwibawa. Beungoh seupot beu tamano, peugleih asoe pat-pat nyang reunta. Takoh gukee bak gaki ngon jaroe, peugleih gigoe jeut-jeut kutika. Rumoh tangga beuna ta pakoe, istana droe keurajeun raja. Beu gleih ngon rumoh, bagan beuk kutoe, di leun meu-asoe ngon bungong jeumpa

5. Pengembangan nilai-nilai sejarah: Gedung memorial, monumen Daerah Modal, Monumen Perjuangan, Istimewa, Serambi Mekah, Syariat Islam, musium alat-alat teknologi pertanian tradisional, transportasi, musium perikanan, musium kereta api dan lainnya.

6. Tempat-tempat Rekreasi: Membangun pantai-pantai wisata,l restoran, taman rekreasi, salon-salon, yang fasilitas penampilannya bernuansa adat dan Islami

7. Membangun Panggung Festival: Menyediakan sarana festival seni yang bernafaskan Islam,menjadi media dakwah (kalender festival), dalail khairat, saman gayo, seudati, rapai, drama, tarian tradisional Aceh (klassik), tarian seni modern (Islami), pameran seni lukis, kaligrafi, makanan dan pakaian adat. Peranan pengusaha, secara komersial dan terprogram permanen. Membangun taman-taman hiburan untuk penyaluran minat kreasi, hiburan anak-anak yang tetap dan permanen. Taman rekreasi sungai Aceh

8. Membangun maket-maket souvenir Aceh: Memperbanyak kegiatan bisinis bidang jasa melalui toko-toko souvenir, pakaian adat, kue-kue Aceh, barang-barang antik Aceh, barang perhiasan, keramik dan lain-lain.

suku aceh:

Suku Aceh adalah nama sebuah suku yang mendiami ujung utara Sumatra. Mereka beragama Islam. Bahasa yang dipertuturkan oleh mereka adalah bahasa Aceh yang masih berkerabat dengan bahasa Mon Khmer (wilayah Champa). Bahasa Aceh merupakan bagian dari bahasa Melayu-Polynesia barat, cabang dari keluarga bahasa Austronesia.
Suku Aceh memiliki sejarah panjang tentang kegemilangan sebuah kerajaan Islam hingga perjuangan atas penaklukan kolonial Hindia Belanda.
Banyak dari budaya Aceh yang menyerap budaya Hindu India, dimana kosakata bahasa Aceh banyak yang berbahasa Sanskerta. Suku Aceh merupakan suku di Indonesia yang pertama memeluk agama Islam dan mendirikan kerajaan Islam. Masyarakat Aceh mayoritas bekerja sebagai petani, pekerja tambang, dan nelayan.

Sejarah

Penduduk Aceh merupakan keturunan berbagai suku, kaum, dan bangsa. Leluhur orang Aceh berasal dari Semenanjung Malaysia, Cham, Cochin, Kamboja.
Di samping itu banyak pula keturunan bangsa asing di tanah Aceh, bangsa Arab dan India dikenal erat hubungannya pasca penyebaran agama Islam di tanah Aceh. Bangsa Arab yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari provinsi Hadramaut (Negeri Yaman), dibuktikan dengan marga-marga mereka al-Aydrus, al-Habsyi, al-Attas, al-Kathiri, Badjubier, Sungkar, Bawazier dan lain lain, yang semuanya merupakan marga marga bangsa Arab asal Yaman. Mereka datang sebagai ulama dan berdagang. Saat ini banyak dari mereka yang sudah kawin campur dengan penduduk asli Aceh, dan menghilangkan nama marganya.
Sedangkan bangsa India kebanyakan dari Gujarat dan Tamil. Dapat dibuktikan dengan penampilan wajah bangsa Aceh, serta variasi makanan (kari), dan juga warisan kebudayaan Hindu Tua (nama-nama desa yang diambil dari bahasa Hindi, contoh: Indra Puri). Keturunan India dapat ditemukan tersebar di seluruh Aceh. Karena letak geografis yang berdekatan maka keturunan India cukup dominan di Aceh.
Pedagang pedagang Tiongkok juga pernah memiliki hubungan yang erat dengan bangsa Aceh, dibuktikan dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho, yang pernah singgah dan menghadiahi Aceh dengan sebuah lonceng besar, yang sekarang dikenal dengan nama Lonceng Cakra Donya, tersimpan di Banda Aceh. Semenjak saat itu hubungan dagang antara Aceh dan Tiongkok cukup mesra, dan pelaut-pelaut Tiongkok pun menjadikan Aceh sebagai pelabuhan transit utama sebelum melanjutkan pelayarannya ke Eropa.
Selain itu juga banyak keturunan bangsa Persia (Iran/Afghan) dan Turki, mereka pernah datang atas undangan Kerajaan Aceh untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatih prajurit dan serdadu perang kerajaan Aceh, dan saat ini keturunan keturunan mereka kebanyakan tersebar di wilayah Aceh Besar. Hingga saat ini bangsa Aceh sangat menyukai nama-nama warisan Persia dan Turki. Bahkan sebutan Banda, dalam nama kota Banda Aceh pun adalah warisan bangsa Persia (Bandar arti: pelabuhan).
Di samping itu ada pula keturunan bangsa Portugis, di wilayah Kuala Daya, Lam No (pesisir barat Aceh). Mereka adalah keturunan dari pelaut-pelaut Portugis di bawah pimpinan nakhoda Kapten Pinto, yang berlayar hendak menuju Malaka (Malaysia), dan sempat singgah dan berdagang di wilayah Lam No, dan sebagian besar di antara mereka tetap tinggal dan menetap di Lam No. Sejarah mencatat peristiwa ini terjadi antara tahun 1492-1511, pada saat itu Lam No di bawah kekuasaan kerajaan kecil Lam No, pimpinan Raja Meureuhom Daya. Hingga saat ini masih dapat dilihat keturunan mereka yang masih memiliki profil wajah Eropa yang masih kental.